
Latar Belakang Kebijakan Hilirisasi Bauksit dan Regulasi
Sejak Juni 2023, pemerintah Indonesia resmi melarang ekspor bijih bauksit. Kebijakan ini merupakan implementasi dari Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Tujuannya adalah mendorong pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri agar nilai tambahnya bisa dinikmati secara langsung oleh industri nasional. Dengan cara ini, pemerintah berharap terciptanya ketahanan industri sekaligus peningkatan pendapatan negara dari sektor mineral.
Namun, sejak diberlakukannya Harga Patokan Mineral (HPM) berdasarkan Kepmen ESDM No. 72.K/MB.01/MEM.B/2025 per 1 April 2025, muncul tantangan baru. Sejumlah perusahaan, termasuk PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM), mengaku kesulitan menjual bauksit dan feronikel. Hal ini terjadi karena harga patokan dianggap terlalu tinggi oleh pasar, sehingga menyulitkan proses transaksi dan menurunkan volume penjualan. Dampaknya adalah potensi kerugian negara akibat menurunnya penerimaan royalti dari sektor ini.
Peran Strategis ANTAM dan Proyek-Proyek Hilirisasi
PT ANTAM melalui anak usaha patungannya, Indonesia Chemical Alumina (ICA), mengambil peran penting dalam ekosistem hilirisasi bauksit. Pada 2024, ANTAM memproduksi sekitar 1,3 juta wet metric ton (WMT) bauksit dan berhasil menjual 0,7 juta WMT. Sementara itu, ICA menghasilkan 148 ribu ton alumina dan mencatat penjualan sebesar 177 ribu ton.
Selain itu, ANTAM bekerja sama dengan PT Indonesia Asahan Aluminium (INALUM) membentuk PT Borneo Alumina Indonesia (BAI) untuk membangun proyek Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, Kalimantan Barat. Proyek ini ditargetkan mulai beroperasi secara komersial pada semester I tahun 2025, dengan kapasitas produksi mencapai 1 juta ton alumina per tahun. Jumlah tersebut akan membutuhkan sekitar 3,3 juta WMT bauksit sebagai bahan baku utama.
Tantangan Lapangan dan Harapan ke Depan
Walaupun ada optimisme terhadap program hilirisasi, tantangan di lapangan masih signifikan. Produksi bijih bauksit nasional turun tajam dari 31,8 juta ton pada 2022 menjadi hanya 16,8 juta ton pada 2024. Selain itu, masih ada tujuh proyek smelter bauksit yang mangkrak dan belum terselesaikan, yang menjadi hambatan besar bagi percepatan program hilirisasi.
Meski demikian, pemerintah tetap optimistis. Dengan proyek-proyek baru yang segera beroperasi, produksi diperkirakan kembali meningkat. Dukungan dari pelaku industri dan kerja sama lintas sektor menjadi kunci keberhasilan. Bila dijalankan konsisten, hilirisasi bauksit akan menjadi fondasi penting bagi kemandirian industri mineral Indonesia, menciptakan lapangan kerja, serta memperkuat posisi Indonesia di pasar global.